Brilio.net - Novi (34) malam itu tengah sibuk melayani beberapa pelanggan yang makan di angkringan. Tertulis dalam sebuah spanduk besar di atas kepala Novi “Angkringan Lik Man”. Kondisi pengunjung tidak terlalu ramai, sebab saya datang sekitar pukul 23.00 WIB pada Sabtu (22/6) lalu. Meski tidak hujan, semilir angin berembus lembut di akhir bulsan Juni dan membuat suhu menjadi dingin.

Pada dasarnya, angkringan merupakan tempat yang mudah sekali ditemukan. Di setiap pengkolan atau bahkan setiap sudut kota Yogyakarta, pasti bisa melihat sebuah gerobak yang menyajikan menu seperti nasi kucing, gorengan, dan lain sebagainya. Namun, tampaknya Angkringan Lik Man punya daya tarik yang berbeda. Bukan soal rasa, tapi karena kepopulerannya yang legendaris.

BACA JUGA :
7 Cara bikin nasi kucing sambal teri ala angkringan, praktis dan cocok untuk jualan

Saya lantas mengambil satu bungkus nasi kucing disertai beberapa sate-satean. Kala itu, beberapa menu terbilang sudah menipis. Pasalnya, hanya hitungan beberapa jam lagi Angkringan Lik Man akan tutup. Novi berujar bahwa ia buka setiap hari pada pukul 16.00 hingga 01.00 WIB. Lokasinya berada di Pasar Kranggan. Wisatawan yang ingin mencoba, bisa berjalan ke utara dari Tugu Yogyakarta, lalu berbelok sedikit ke arah barat.

Angkringan legendaris berdiri sejak 1965.


Novi bercerita bagaimana sejarah angkringan tempatnya ia bekerja berdiri. Kalau Indonesia mengalami pergolakan sejarah berdarah akibat Gerakan 30 September pada 1965, sebuah angkringan juga membuat sejarahnya sendiri. Novi mengatakan bahwa angkringan yang dijaganya sudah ada sejak 1965. Orang yang pertama kali menjalankan usaha angkringan bernama Mbah Pairo, bapak dari Lik Man. Namun saat itu angkringannya belum memiliki nama.

BACA JUGA :
Trik menusuk ceker dan sayap ayam ala angkringan, rapi dan tak jatuh saat dibakar

"Namanya Mbah Pairo. Mbah Pairo itu terus ya, lengser ke Lekman. Baru dikasih nama. Itu ceritanya," ujar Novi saat saya wawancarai.

Novi adalah keponakan dari Lik Man, saat ini ia merupakan penerus usaha pamannya tersebut. Dulu, Lik Man berhenti berjualan pada 2010, ibu Novi sebagai adik kandung dari Lik Man yang menggantikan. Selain itu, ada juga menantunya Lik Man bernama Mas Kobar dan iparnya yang sering disebut dengan Mas Alek. Mereka bertiga berjualan secara bergantian per dua minggu.

foto: brilio.net/Muhammad Rizki Yusrial

Sejak kecil, Novi sudah turut ibunya untuk mengurusi angkringan ini. Ia tahu banyak tentang cara berjualan maupun sejarah soal angkringan keluarganya. Saat berbincang dengan saya, ia dibantu oleh dua orang karyawan yang berjaga di malam itu. Novi mulai terjun langsung mengurus ketika ibunya meninggal pada 2017.

"Terus kalau saya kan cuma bantuin ibu, mas. Pokoknya saya tuh ikut ibu, ya, dari kecil. Ibu saya itu nggak ada (meninggal) tahun 2017. Begitu ibu nggak ada, terus saya terjun sendiri. Desember 2017 ibu nggak ada, jadinya gantian aku, Mas Kobar, sama Mas Alek,” kata Novi

Novi mengatakan bahwa sejak awal, Mbah Pairo berjualan di daerah Stasiun Tugu Yogyakarta. Sempat berpindah-pindah hingga akhirnya menetap di Jalan Wongsodirjan. Namun pada 2020, angkringan kembali dipindahkan karena alasan penataan kota dan revitalisasi dari PT KAI. Angkringan Lik Man diberikan alternatif untuk berjualan di Jalan Pasar Kembang, selasar Malioboro.

"Kalau dulu pak de (Lik Man) ini tuh dari tahun 65 ya mas. Dulu kan bukan di sini, mas. Dulu itu di Jalan Wongsodirjan. Jalan Wongsodirjan itu samsat ke barat. Terus kemarin tahun 2000 berapa ya? Sekitar 3 tahun, 4 tahun yang lalu itu yang di Jalan Wongsodirjan itu dipindah di Jalan Pasar Kembang," ujar Novi.

Namun, saat di relokasi ke Jalan Pasar Kembang, angkringan Lik Man mendapatkan tempat yang tidak begitu luas. Mereka harus berjualan di dalam sebuah gedung bersamaan dengan pedagang-pedagang lain. Beda halnya konsep “food court” yang membolehkan pelanggan duduk dan memesan makanan dari pedagang mana saja, sementara di Jalan Pasar Kembang pembeli hanya boleh duduk tepat di depan pedagang yang makanannya ingin dibeli.

"Oh, yang di Pasar Kembang itu, di sana itu satu gedung itu ada 15 angkringan, mas. Itu setiap satu lapak itu cuma dikasih ukuran 3x4. Nggak kayak food court. Food court itu kan bebas duduknya. Ini kan nggak bebas, mas," imbuhnya.

Novi mengaku, pendapatan angkringannya ketika dipindah dari Jalan Wongsodirjan sangat turun drastis. Apalagi saat itu Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19. Karena itu, ia memikirkan bagaimana caranya agar bisa bertahan. Akhirnya, Novi memilih untuk membuka cabang di Pasar Kranggan.

Secara pendapatan, cabang di Pasar Kranggan yang dijaga langsung oleh Novi punya penghasilan lebih besar. Namun ia tidak menutup angkringan yang ada Jalan Pasar Kembang. Saat ini, angkringan tersebut dijaga oleh orang kepercayaannya.

foto: brilio.net/Muhammad Rizki Yusrial

"Alhamdulillah, mas. Pokoknya selalu bersyukur. Kalau untuk mengembalikan seperti yang dulu, belum bisa, ya. Tapi kan timbang yang di Selasar bagus di sini (Pasar Kranggan), sih," imbuh Novi.

Saat ini, Novi meneruskan angkringan bersama dengan adiknya yang berjualan secara bergantian. Ia bercerita dulu sempat hanya berjualan seorang diri. Sebab Covid, Novi pernah menganggur selama lima bulan. Sementara penerus lain seperti Mas Alek dengan alasan tertentu tidak turut lagi meneruskan.

'Terus, itu yang berani jualan cuma aku. Ya, kepepet, tahu, mas. Berat lah nganggur lima bulan nih, Mas. Tabungannya habis, tahu, mas. Aku nekat, mas," kenangannya mengingat masa kelam pandemi covid.

"Terus, habis itu, di sana cuma cukup buat makan, tahu, mas. Ibaratkan waktu itu sepi banget. Terus, aku ini kerjasama sama adikku," lanjutnya.

Kopi joss pertama di Jogja.

foto: brilio.net/Muhammad Rizki Yusrial

Selain angkringannya yang legendaris, Novi juga menceritakan hal unik lain dari kedai yang sedang di jaga, yaitu Kopi Joss. Siapa yang tidak tahu dengan kopi ini? Minuman khas jogja yang tak cuma memanjakan lidah, tetapi memberikan pengalaman unik melalui cara penyajiannya. Bisa lihat, kopi tersebut akan disertai dengan aksi mencelupkan arang panas di dalam cangkir.

Kopi khas Jogja itu kerap menjadi teman di tengah dinginnya malam untuk menghangatkan suasana bagi penikmat sajian ala rakyat jelata. Siapa sangka, kopi yang sedemikian populer itu rupanya dicetus oleh Angkringan Lik Man.

Bukan berasal dari resep turun temurun, melainkan berdasarkan eksperimen dari Lik Man sendiri. Novi bercerita bahwa dulu pakdenya seringkali nongkrong dengan berbagai orang di sekitar Tugu. Ada tukang becak, kusir, dan pedagang lain. Mereka sama-sama mengais rezeki di daerah itu.

Suatu ketika, salah seorang kusir sedang mengalami gejala yang tidak enak badan. Ia mengeluh kepada Lik Man. Perut sang kusir juga terasa kembung. Memang, orang yang sering beraktivitas malam hari dan tak asing dengan angin sering merasakan demikian. Mudah ditebak, sepertinya kusir temannya Lik Man sedang mengalami masuk angin.

"Nah, salah satu teman kusirnya itu ada yang ngeluh. Nggak enak badan, gitu. Kok perutnya kayak kembung, gitu," ungkap Novi

Saat itu Angkringan Lik Man memang berjualan kopi, tapi cuma kopi hitam biasa yang dicampur gula. Atas keluhan temannya itu, Lik Man lantas bereksperimen membuat kopi jenis baru. Diambilnya satu bongkah arang yang membakar ceret agar air panas tetap tersedia, kemudian diletakkan ke dalam gelas yang sudah berisi kopi dan air. "Jssss," suara air ketika bercampur dengan panasnya bara arang tersebut. Jadilah sebuah mahakarya baru yang sampai saat ini dikenal dengan sebutan kopi joss.

Sang kusir lantas mencobanya. Entah karena sugesti atau memang memiliki khasiat, Novi mengatakan bahwa kusir tersebut langsung merasa enakan. Kembung dan masuk angin seakan hilang seketika. Karena itu, Lik Man lantas mempertahankan menu tersebut. Saat ini, tidak hanya dari Angkringan Lik Man saja, kopi joss sudah ditiru oleh banyak pedagang kuliner.

"Terus pakde cuma iseng-iseng. Buat kopi dikasih bara api itu. Terus kok diminum kok enak badannya. Ya udah, jadi terkenal sampai sekarang," ujarnya

Kopi joss juga menjalar ke berbagai kuliner tanah air. Tak cuma di Jogja, kopi yang dicelupkan arang ini telah beredar dalam skala nasional, bahkan internasional. Salah satu negara yang mengadopsi mahakarya Lik Man ini adalah Malaysia. Sayang, saat lagi laris-larisnya, kopi tersebut justru dilarang oleh pemerintah Malaysia.

foto: brilio.net/Muhammad Rizki Yusrial

Kementerian Kesihatan Malaysia mengeluarkan pernyataan bahwa penambahan bara arang dalam minuman kopi telah melanggar Peraturan-Peraturan Makan tahun 1985. Pakar kesehatan di sana mengatakan, hal tersebut bisa berisiko pada kesehatan, termasuk kemungkinan terkena karsinogenik dan potensi sumbatan pada khusus apabila dikonsumsi secara berlebihan.

Karena itu, otoritas Malaysia lantas melarangnya dan memberi sanksi tegas kepada pedagang yang menjual kuliner tersebut. Disebutkan bahwa hukumannya berupa denda sebanyak 10 ribu ringgit Malaysia atau setara dengan Rp 348 juta atau kurungan paling lama 2 tahun jika terbukti bersalah. Hal tersebut ditetapkan atas respons terhadap meningkatnya popularitas kopi joss di Negeri Jiran tersebut.

Kerap didatangi artis dan kunjungan-kunjungan unik.

Kepopuleran kopi joss dan angkringan Lik Man juga sampai pada selebriti tanah air. Novi mengatakan artis terakhir yang baru saja mengunjungi kedainya adalah Chef Juna. Beruntung bagi Novi saat itu tidak berada di kedai, adiknya yang punya giliran berjaga. Novi pun terhindar dari perasaan deg-degan ketika Chef Juna mencicipi makanannya, selayaknya peserta di MasterChef.

"Iya. Kemarin terakhir Chef Juna. Tapi yang jualan Adikku. Jadi, aku nggak begitu ngerti," tuturnya.

Novi juga mengenang masa jualannya sebelum direlokasi. Ia sudah puas melihat artis tanpa perlu datang ke Jakarta atau hadir pada sebuah acara. Saat itu, artis papan atas tanah air jauh lebih sering berkunjung. Dalam ceritanya, ia sempat didatangi Ruben Onsu, Ivan Gunawan, dan Prilly Latuconsina.

Sampai saat ini ketika ada artis, ia tidak begitu terkejut. Pasalnya, memang tidak ada yang mengabari terlebih dahulu. Semuanya tiba-tiba datang dan memesan kopi. Sambil tertawa, Novi mengatakan momen saat artis datang, angkringannya selalu jadi ramai karena banyak yang mengerubungi artis tersebut.

"Pada dikeburungin gitu, pada minta foto lah, kegiatannya ya minum kopi terus makan nasi kucing,” katanya.

Di tengah ramainya orang mengerubungi artis tersebut, Novi malah tidak bisa mengikuti euforianya. Baginya melihat artis sudah menjadi hal yang biasa. Karena itu, ia lebih fokus berjualan dan melayani pelanggan-pelanggan lain. Meski demikian, Novi juga memperhatikan kulit-kulit artis tersebut. Baginya memang sangat berbeda dari orang-orang biasa.

"Kalau lihat artis tu ya allah ayune (cantiknya) kulitnya mulus. Kadang lihat di TV sama asli itu beda," ujarnya.

foto: brilio.net/Muhammad Rizki Yusrial

Selain kedatangan artis, ada juga cerita-cerita unik dari kalangan pelanggannya. Dulu, pelanggan tetap angkringan ini punya grup WhatsApp (WA). Grup itu digunakan sebagai tempat berbagi cerita dan bertukar informasi terkait angkringan. Terdapat dua grup, ada yang untuk kaum muda-mudi, juga ada untuk pelanggan sesepuh.

Salah satu pelanggan yang namanya Papi (kini sudah almarhum) pernah melakukan hal yang di luar dugaan saat sama-sama nangkring. Ternyata ia tidak begitu suka dengan kaum muda mudi yang pacaran. Saat itu, ada yang tengah bermesraan di angkringan langsung dilempar piring oleh Papi. Novi mendengar cerita ini dari pamannya sendiri.

"Ada namanya papi, itu orang pacaran dilempar piring, benci aja dia lihatnya," kata Novi bercerita.

Selain itu, Papi juga sempat melakukan hal yang menakutkan. Saat perayaan tahun baru, sudah menjadi hal umum orang akan memainkan kembang api. Namun berbeda dengan Papi, ia justru menyalakan kembang api tersebut dan mengarahkannya ke pelanggan angkringan. Sontak semuanya berhamburan karena takut. Novi menyaksikan kejadian tersebut, bahkan ada pegawainya yang sampai lompat pagar untuk kabur.

"Dia pegang kembang api, tahun baru itu. Dihadapkannya ke tamu-tamu mas. Takut dong, aku pun takut ya. Masnya yang ini (menunjuk ke arah karyawan) sampai lompat lho," ujarnya.

Kini, malam yang sudah berganti hari, saya mengakhiri pembicaraan dengan membahas teh yang digunakan oleh Novi. Ternyata sejak 1965, ia tetap setia pada dua merek. Yaitu bernama Sarawita dan Gopek. Namun, untuk bubuk kopi Novi sempat berganti. Sebelumnya menggunakan kopi murni, kini ia lebih memilih robusta. Kopi tersebut didapat dari langganannya di Klaten.

"Ini Gopek sama Sarawita. Dari tahun 1965 nggak pernah ganti. Kalau kopi ini aku sudah ganti, mas. Dulu pakde itu pakai kopi Murni. Kalau aku sekarang pakai kopi Robusta," pungkasnya.

 

(brl/jad)

RECOMMENDED