Brilio.net - Sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, keberadaan masjid sebagai tempat ibadah tentu tersebar di berbagai wilayah. Tak hanya dijadikan sebagai tempat salat, tapi masjid juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar dan tempat bermusyawarah. Melakukan ibadah di masjid menjadi poin plus tersendiri karena nilai ganjarannya yang lebih banyak.

Dalam Islam, terutama bagi kaum laki-laki lebih diutamakan untuk melakukan salat jamaah di masjid. Sedangkan untuk perempuan lebih diutamakan melakukan ibadah di rumah, walaupun tidak ada larangan untuk menunaikan salat berjamaah di masjid. Pada beberapa kesempatan, oknum-oknum tak bertanggung jawab kerap melakukan pelecehan kepada perempuan sekalipun di dalam masjid.

BACA JUGA :
Uniknya Masjid Al-Mahdi di Magelang, arsitekturnya mirip Klenteng

Tak hanya itu, beberapa masjid memiliki fasilitas yang kurang ramah bagi perempuan. Misalnya tempat wudhu yang kurang tertutup bagi perempuan, sehingga kurang nyaman saat digunakan. Namun berbeda dengan musala yang berada di Kampung Kauman, Yogyakarta ini. Dibangun pada 1922, Mushola Aisyiyah ini diperuntukan khusus bagi perempuan.

Berdirinya musala tersebut muncul dari ide KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang menyadari permasalahan mengenai keterbatasan perempuan dalam beribadah di masjid. Hal tersebut memotivasinya untuk mendirikan musala khusus perempuan yang diharapkan mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi perempuan.


BACA JUGA :
Masjid Gedhe Kauman, masjid tertua Keraton Jogja yang masih autentik

foto: brilio.net/Himmatul Ahsana

Dengan modal (pembangunan) awal Rp 12 ribu pada tahun itu, berdirinya Mushola Aisyiyah juga sebagai bentuk perhatian KH. Ahmad Dahlan terhadap hak-hak perempuan untuk hadir dan aktif di masjid. Selain itu, pada masa itu persoalan pendidikan keagamaan pada perempuan masih terbatas dan belum berkembang.

Tokoh Islam yang memiliki nama lahir Muhammad Darwis ini juga menginginkan dengan berdirinya Mushola Aisyiyah, menjadi perhatian yang lebih dalam bagi muslimin untuk memperhatikan kemajuan keagamaan bagi para perempuan sebagai penerus peradaban. Sesuai dengan namanya, takmir dari Mushola Aisyiyah ini semuanya perempuan.

Diketuai oleh Ismiyati yang berusia 65 tahun, Sri Suratun sebagai ketua 2 yang berusia 74 tahun, dan Sumarni sebagai bendahara yang berusia 68 tahun. Meskipun kini sudah memasuki usia senja, mereka yang menjadi takmir mushola ini tetap produktif mengurus berbagai keperluan dan kegiatan musala. Di luar kegiatannya tersebut, mereka juga merupakan pensiunan yang juga ibu rumah tangga, serta menjadi pimpinan ranting Aisyiyah.

foto: brilio.net/Himmatul Ahsana

“Ya di sini kami legan golek momongan ya mbak ya. Buat bekal di akhirat nanti,” tutur Sri Suratun kepada tim brilio.net baru-baru ini.

Sebagai informasi, Aisyiyah merupakan organisasi otonom yang didirikan Muhammadiyah pada 19 Mei 1917 oleh Nyai Ahmad Dahlan (istri KH. Ahmad Dahlan). Organisasi otonom ini didirikan sebagai wadah bagi wanita Muhammadiyah yang aktif bergerak di bidang sosial, pendidikan, kesehatan, dan keagamaan. Seperti musala pada umumnya, Mushola Aisyiyah juga memiliki kegiatan rutin yang bersifat harian, mingguan hingga bulanan.

Selain salat jamaah lima waktu, Mushola Aisyiyah juga menggelar tadarusan bersama setiap malam Minggu dan kajian subuh pada hari Minggu. Sri Suratun selaku ketua 2 takmir, berharap dengan adanya kaderisasi generasi muda ini kelak dapat menjadi estafet kepengurusan untuk takmir musala ke depannya.

“Kita mencari generasi penerus jadi yang ngisi-ngisi kajian sekarang yang muda-muda,” Ungkap Sri Suratun.

Keunikan lain yang terdapat di musala ini adalah waktu adzan berkumandang. Meski takmir musala hingga imam setiap salat berjamaah adalah perempuan, namun berbeda saat mengkumandangan adzan. Tak hanya itu, karena jamaah musala ini adalah perempuan, maka saat salat Jumat tiba, kegiatan tersebut ditiadakan.

“Kalau adzan kami tetap pakai yang dari Masjid Gedhe Kauman. Nanti di musala cuman tinggal iqomah saja. Setiap Jumat juga kita nggak salat Jumat, tapi salat dzuhur berjamaah,” Jelas Ismiyati, selaku ketua takmir Mushola Aisyiyah.

foto: brilio.net/Himmatul Ahsana

Jamaah dari Mushola Aisyiyah ini sifatnya terbuka untuk umum. Meskipun rata-rata jamaah adalah perempuan warga Kauman dan sekitarnya, namun jika ada laki-laki yang ingin berkunjung dan salat harus di luar waktu salat berjamaah. Meski kecil, musala ini dilengkapi fasilitas yang ramah lansia dan anak-anak.

Banyaknya lansia yang menjadi jamaah, Mushola Aisyiyah ini dilengkapi kursi yang memudahkan para lansia untuk tetap salat berjamaah dengan nyaman. Bahkan musala ini sengaja tidak diberi pendingin ruangan, agar lebih ramah lansia. Tak hanya lansia, musala ini juga ramah untuk anak-anak. Hal ini untuk memudahkan para ibu yang memiliki anak kecil agar tetap nyaman beribadah berjamaah.

Sejak berdiri 102 tahun lalu, Mushola Aisyiyah hingga kini tak banyak mengalami perubahan pada bangunannya. Meski keramik dari musala ini beberapa kali diubah, namun tak banyak mengubah kesan autentik dan kesan bersejarahnya. Memberikan kesan tentram dan nyaman, beribadah di Mushola Aisyiyah ini sekaligus napak tilas sejarah panjang dari berdirinya musala ini untuk memuliakan dan memberikan perhatian terhadap perempuan.

foto: brilio.net/Himmatul Ahsana

Ismiyati, Sri Suratun, dan Sumarni merasa bangga dengan kehadiran Mushola Aisyiyah ini di tengah-tengah masyarakat. Tentunya dengan adanya musala ini, perempuan menjadi memiliki tempat yang aman dan nyaman untuk bermusyarah dan berkumpul. Sri Suratun berharap nantinya akan ada kader-kader yang lebih baik dan mampu memakmurkan Mushola Aisyiyah agar perempuan tetap berdaya dan maju, dimulai dari kenyamanan beribadah.

 

Magang/Himmatul Ahsana

 

(brl/mal)

RECOMMENDED