Para perempuan mandiri yang membangun perekonomian dan infrastruktur kampung

Di Padukuhan Kalangbangi Wetan ini terdapat total 4 RT dengan total 70 KK. Menurut Damayanti, keluarga yang perempuannya berstatus janda mencapai 40% atau kurang lebih 30 KK. Lantas dengan jumlah perempuan yang dominan, segala urusan juga banyak dilakukan oleh perempuan.

Ketika ditinggal oleh suami, para perempuan ini mulai mandiri dalam bekerja. Profesi mereka juga sangat beragam, ada yang menjadi petani, pengrajin eceng gondok, hingga pebisnis batu alam seperti Damayanti. Sejak tahun 2008, dia menjadi supplier (pengepul) batu alam yang kemudian dikirim ke kota besar, seperti Bali dan Jakarta.

BACA JUGA :
Viral kampung berdampingan dengan kompleks makam, ini 9 potretnya

Dari bisnisnya tersebut, Damayanti sudah dapat menghidupi keluarganya sendiri. Bahkan perempuan kelahiran 1983 ini bisa mempekerjakan 21 karyawan, yang sebagian besar adalah kerabat dekat dan warga Padukuhan Kalangbangi Wetan. Hingga kini, aset yang dimiliki pun terbilang tidak sedikit, yakni 3 truk ekspedisi dan 4 mobil.

"Kalau saya kan yang penting itu bisa bermanfaat buat orang lain," sambung Damayanti.


BACA JUGA :
Dorong minat baca, gerakan di Pustaka Desa ini inspiratif banget

Foto: brilio.net/annatiqo

Cerita dari Damayanti turut membuktikan bahwa menjadi ‘janda’ tidak membuat para perempuan tertinggal. Selain bisa sukses dalam menjalankan roda perekonomian, warga dusun juga turut mendukung program pembangunan di Padukuhan Kalangbangi Wetan. Bahkan para perempuan ini ikut berperan aktif dalam berbagai agenda kampung, termasuk membangun fasilitas umum.

"Wong wedok iki kerja bakti podo karo wong lanang (perempuan di sini kerja bakti sama dengan laki-laki). Buat (membangun) jalan ini yang ngecor juga bareng-bareng, Nggak pandang laki-laki atau Perempuan," kata Heri menjelaskan.

Foto: brilio.net/annatiqo

Tidak pernah menggelar salat Jumat

Uniknya, memiliki warga yang didominasi oleh perempuan membuat Padukuhan Kalangbangi Wetan ini tidak pernah menggelar salat Jumat. Menurut kesaksian Damayanti, hal ini sudah terjadi Ketika dia masih kecil. Jadi warga laki-laki yang hendak salat Jumat harus pergi ke kampung sebelah. Lebih tepatnya di Padukuhan Ngepos yang berada di seberang Jalan Raya Nasional III (berseberangan dengan Padukuhan Kalangbangi Wetan). Walaupun begitu, warga dusun masih menggunakan masjid setempat untuk saat salat wajib dan salat Ied.

Foto: brilio.net/annatiqo

Pada dasarnya, tidak digelarnya salat Jumat di kampung ini sebenarnya bukan hanya karena banyak penduduknya yang perempuan dan janda. Heri menambahkan bahwa salat Jumat tidak pernah dilaksanakan karena banyak laki-laki yang bekerja di luar kampung dan baru pulang pada sore atau malam hari. Bahkan ada juga yang merantau dan bekerja di luar kota, seperti Bandung dan Jakarta. Selain itu, berkurangnya jumlah laki-laki juga karena ada yang pindah penduduk karena menikah.

"Kalau (ada orang) dapat suami dari sini, biasanya pindah. Ada yang di Karangmojo. Pindah jadi penduduk sana. (Total) ada dua. Kelong maneh, toh, mbak (berkurang lagi toh, mbak). Terus yang gandingan (bersebelahan) sama adik saya, itu rumahnya samping Damayanti. Di Grogol, pindah sana," pungkas Heri.

(brl/wen)