Brilio.net - Langkah-langkah kecil di perantauan seringkali terasa seperti mendaki gunung yang tak berujung. Begitulah perjalanan mahasiswa luar Jawa, yang tak hanya datang untuk belajar, tetapi juga bertaruh masa depan di tanah orang. Mereka berlayar jauh, melewati badai rindu dan tantangan akademik yang menggebu. Semua cara dilakukan demi ijazah tanda kelulusan. Di tanah Sultan, dua mahasiswa asal Sulawesi Tengah, sebut saja Mirna dan Mirda, menorehkan kisah perjuangan mereka, membawa tekad kuat untuk tidak pulang sebelum gelar keguruan itu mereka genggam erat. Tanpa mengenal lelah, mereka mengusung tekad pantang pulang sebelum ijazah di tangan. Kata ini seolah menjadi mantra yang menguatkan.

Berangkat dari desa kecil di Sulawesi Tengah, perjalanan kedua mahasiswa ini dimulai dengan asa besar. Sebut saja Mirda dan Mirna, dua mahasiswa keguruan yang meninggalkan kampung halaman demi mengejar mimpi menjadi guru. Yogyakarta yang sering disebut sebagai Kota Pelajar, menawarkan lebih dari sekadar pendidikan. Kota ini memberi mereka pelajaran hidup—dari bertahan di tengah rindu yang menggigit hingga menjadi mahasiswa nomor wahid.

BACA JUGA :
Ulasan buku "Berani Tidak Disukai" oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga

Mirna mengenang bagaimana sulitnya meninggalkan rumah pertama kali. "Awalnya mau putus harapan, soalnya ini kan mau ke kampus yang bagus di Jogja dan banyak peminatnya," katanya kepada brilio.net. Namun, dorongan untuk sukses menjadi guru, sesuatu yang ia impikan sejak SMA, membuat langkahnya mantap menjejak di Jogja. Sementara Mirda, mengungkapkan bahwa kota ini telah menjadi tempat kedua baginya. "Saya sudah sempat keterima di jurusan Teknik Kimia di ujung Sulawesi, sehari setelah pengumuman kelulusan ternyata saya keterima di Jogja," ucapnya kepada brilio.net.


foto: Brilio.net/Farika Maula

BACA JUGA :
Ulasan buku: "Start With Why" oleh Simon Sinek

Kehidupan mahasiswa perantauan tidaklah mudah, apalagi bagi mereka yang berasal dari luar Jawa. Mirna sebagai mahasiswa Pendidikan Ekonomi mengungkapkan bahwa selain adaptasi dengan lingkungan baru, tantangan terbesar adalah soal akademis. "Materi kuliah kadang terasa berat. Apalagi kita harus belajar sendiri dan jauh dari keluarga, yang biasanya menjadi tempat untuk berbagi beban," katanya. "Tapi ya itu, saya terus mengingat tujuan awal saya datang ke sini—untuk jadi guru yang lebih baik dan kembali membangun daerah asal."

Dalam menjalani perkuliahan, mereka juga dihadapkan dengan kesibukan yang tak kunjung henti. Dari pagi hingga malam, Mirna dan Mirda membagi waktu mereka antara kuliah, belajar mandiri, penelitian, menjadi moderator seminar proposal hingga mengerjakan tugas kelompok. Kelas demi kelas dilalui dengan penuh kesungguhan, meski di sela-sela waktu sering kali muncul keinginan untuk menyerah. Namun, mereka tak pernah membiarkan rasa lelah menguasai pikiran.

Mirda berbagi strategi yang ia terapkan untuk tetap fokus. "Saya selalu ingat, saya yang kuliah di Pendidikan Sosiologi yang notabene tidak ada di kampung halaman saya bisa berkontribusi. Saya sampai ditelpon guru-guru 'eh, kamu kapan selesai?' ditanya kapan selesai terus sama guru-guru saya. Itu yang membuat saya semakin semangat."

Bagi Mirda dan Mirna, menempuh pendidikan di Yogyakarta ibarat menanam benih di tanah yang jauh dari rumah. Mirda, mahasiswa Pendidikan Sosiologi, merasa bahwa ia sedang menabur ilmu yang kelak akan tumbuh menjadi pohon pengetahuan di Sulawesi Tengah, tempat di mana jurusan ini belum tersedia. Seperti oase di padang pasir, jurusan yang ia ambil adalah harapan bagi masyarakat yang haus akan solusi sosial. "Soalnya di Sulawesi Tengah guru yang mengajar Sosiologi itu guru yang bidang keilmuannya masih satu rumpun kayak Pendidikan Agama Islam. Kita ibaratkan misalnya kita ingin makan sesuatu berbau kedelai, tapi pengennya bentuknya tempe. Kalau dikasih oncom kan ya akan beda. Walaupun sejenis, tapi rasanya akan beda. Jadi, alangkah baiknya ada SDM yang memang mumpuni di bidang itu," ungkap Mirda kepada brilio.net dengan semangat.

foto: Brilio.net/Farika Maula

Sementara itu, Mirna, yang menekuni Pendidikan Ekonomi, merasakan seolah dirinya sedang menjalin benang harapan bagi keluarga-keluarga di Sulawesi. Di daerah asalnya, pengetahuan tentang ekonomi masih minim, dan ia merasa seperti penganyam yang sabar, membangun pola masa depan yang lebih cerah. "Setiap hitungan dan teori yang saya pelajari di sini, semoga bisa menjadi perahu yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sana," kata Mirna kepada brilio.net, meski rindu kampung halaman tak pernah lepas dari langkahnya.

Mereka tahu bahwa perjuangan ini bukan jalan pintas, melainkan perjalanan panjang yang penuh liku. Namun, seperti kapal yang melawan ombak menuju pelabuhan, Mirda dan Mirna tidak pernah goyah. Setiap rintangan, bagi mereka, adalah ombak yang harus dilalui demi membawa pulang ilmu yang sangat dibutuhkan di tanah kelahiran. "Pantang pulang sebelum ilmu terpatri, dan mimpi menjadi guru sejati terwujud di tanah sendiri," ucap mereka kepada brilio.net dengan tekad yang tak terbendung.

Bagi perantau, rindu adalah teman setia yang tak pernah absen. Mirna dan Mirda tak terkecuali. Setiap akhir pekan, ketika teman-teman mereka pulang ke rumah masing-masing, mereka hanya bisa menyimpan rindu dalam-dalam. Jarak antara Yogyakarta dan Sulawesi Tengah bukan sekadar jarak geografis, melainkan juga jarak emosional yang kadang terasa sangat jauh.

"Kadang-kadang, rindu pada keluarga itu datang tiba-tiba, tapi setiap hari kami pasti video call," cerita Mirda. "Tapi saya selalu ingat pesan ibu, 'Kamu ke Jogja bukan untuk main-main. Kamu ke sana untuk menuntut ilmu. Jangan pulang sebelum kamu bawa pulang ijazah.' Itu yang selalu jadi penyemangat saya."

Mirna juga merasakan hal yang sama. "Saya sering menelepon orang tua, terutama saat merasa lelah. Mereka selalu bilang, ‘Sabar, nanti kalau sudah lulus, kamu bisa ngajar di sini.’ Itu yang membuat saya tetap bertahan," katanya kepada brilio.net sambil tersenyum.

foto: Brilio.net/Farika Maula

Semangat pantang menyerah adalah kunci utama yang membawa Mirna dan Mirda terus maju. Bagi mereka, setiap rintangan yang datang adalah ujian yang harus dihadapi dengan keberanian. Mirna mengakui bahwa kadang-kadang, tekanan akademis terasa begitu berat. "Tapi setiap kali saya merasa ingin menyerah, saya selalu ingat tujuan awal saya. Saya ingin menjadi guru yang bisa membantu anak-anak di Sulawesi untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik."

Mirna menambahkan bahwa semangat pantang menyerah ini juga ia peroleh dari orang-orang di sekitarnya. "Guru-guru saya dan keluarga untungnya selalu support. Selalu memberi motivasi untuk terus belajar dan jangan cepat puas. Teman-teman juga selalu mendukung. Jadi meski berat, kami tidak pernah merasa sendirian," katanya kepada brilio.net.

Bagi Mirda dan Mirna, perjuangan ini bukanlah tentang seberapa cepat mereka bisa menyelesaikan studi, tapi tentang seberapa besar dampak yang bisa mereka bawa pulang. Ketika hari wisuda nanti tiba, mereka tidak hanya akan membawa ijazah sebagai tanda lulus, tetapi juga pengalaman dan ilmu yang siap mereka bagikan di kampung halaman.

"Saya tidak ingin pulang dengan tangan kosong,” kata Mirda. "Saya ingin pulang dengan kepala tegak, membawa ijazah dan kebanggaan untuk keluarga dan daerah saya."

Mirna pun setuju. "Pantang pulang sebelum ijazah di tangan. Itu janji saya kepada diri sendiri. Dan saya akan menepatinya."

Perjuangan mahasiswa luar Jawa seperti Mirna dan Mirda di tanah Sultan adalah cerminan tekad yang tak mudah goyah. Mereka adalah pejuang, menempuh jalan panjang di perantauan, dengan satu tujuan, pulang membawa ilmu dan perubahan bagi kampung halaman. Dalam setiap langkah kecil yang mereka ambil di Jogja, ada harapan besar yang terus menyala—bahwa kelak, ketika mereka kembali, dan menjadi inspirasi.

Di tengah tantangan akademis, rindu yang terus mendesak, dan tekanan hidup di perantauan, mereka tetap teguh dengan satu tekad, pantang pulang sebelum ijazah di tangan.

 

 

(brl/far)

RECOMMENDED